Sakit yang Tak Terbagi

8 komentar
Berpuluh tangkai bunga mawar biru telah tertata apik mengelilingi meja makan sederhana dengan dua kursi yang berhadapan. Taman belakang rumah telah kusulap sedemikian rupa agar terlihat menarik, meski tak begitu luas namun kolam ikan dengan gemericik air, bunga warna-warni yang memikat, rumput hijau yang telah dirapikan menjadi penyempurna persiapan untuk sore ini.

Tiara, masih ingat janjimu nanti sore?”

Gadis mungil di depanku mengangguk, tenang rasanya memastikan bahwa ia mengingat hari ini.

Ada kejutan untukmu”

Untukku? Seharusnya kejutan itu untukmu, bukankah kau yang berulang tahun?”

Upss... bodoh, kenapa aku bisa kelepasan bicara sih. Tidak boleh, ia tidak boleh tahu apa pun tentang rencanaku sore nanti, persiapanku sangat matang, butuh berbulan-bulan untuk menyusun konsepnya dan harus hancur hanya karena sikap tergesa-gesaku? Ohh tidak.. jangan..

Ahh manis sekali kau mengingat hari lahirku. Baiklah, aku tunggu jam empat sore, jangan terlambat”

Kedua telapak tangannya yang juga kecil ia gunakan untuk menutup mulutnya, menahan tawa. Ya Tuhan jangan ijinkan gadis pintar di depanku ini mencurigai sikap salah tingkahku, buat ia tidak mampu membaca gerak tubuhku, kumohon.

“Oiya, jangan dandan berlebihan. Ingat, aku tidak suka”

“Iya, iya..”

“Satu lagi, hadiah untukku”

“Sudah sana pulang, aku harus menyelesaikan pekerjaanku segera”

Bahkan aku jatuh cinta pada caranya mengusirku. Ingin waktu berputar lebih cepat dan sore menyapa.


**
Lima menit sebelum pukul empat sore hatiku mulai gelisah, Tiara bukanlah seseorang yang suka mengingkari janji. Mungkin aku berlebihan, masih ada waktu lima menit lagi. Uuhhh, cepatlah datang Tiara.

Pukul empat pas. Tak ada bunyi pintu diketuk. Aku mulai senewen, ibu menghampiri dan menenangkanku, “Mungkin jalanan macet nak, kita tunggu saja”

Aku mengiyakan kemungkinan yang diungkapkan ibu. Tiga puluh menit berlalu dan suasana rumah tetap hening. Ayah menyeruput kopinya yang sudah dingin. Ibu kembali menghampiriku, “Sudah coba kau telpon nak?”

Tak ada kekuatan untuk menjawab pertanyaan ibu, sebuah gelengan lemah kurasa cukup menggambarkan kecewanya hati ini.

Satu jam berlalu, cukup. Sudah keterlaluan. Tiara kau tidak hanya meluluhlantakkan harapanku, sekaligus mempermalukanku di depan kedua orang tuaku sendiri. Taukah engkau kejutan manis yang telah lama aku persiapkan? Tepat dihari ulang tahun yang ke 27, sempurna rasanya jika engkau mejadi pelengkap separuh agamaku. Ya, aku ingin melamarmu, memperkenalkanmu pada kedua orangtuaku.

Tapi apa? Bahkan kau memberikan harapan dengan janji akan datang saat kita berbincang tadi pagi, melemparkan senyum manis yang hanya padaku. Adakah dari diriku yang salah dimatamu? Kenapa tega sekali kau lakukan ini padaku?

Tiara.... aku harus membuat perhitungan denganmu.

Tanpa berpamitan dengan ayah ibu aku mengambil kunci motor yang tergeletak di atas meja, tak apalah basah oleh rintik hujan yang baru saja menyapa, terlalu lama jika menggunakan mobil. Aku sudah tidak sabar untuk mendengar penjelasan dari gadis yang tak tahu diri akan penantianku ini.

Dengan kecepatan 100 km/jam aku sampi di depan rumah Tiara dalam waktu kurang dari dua puluh menit. Rumahnya seperti tak berpenghuni, selalu sunyi dan sepi. Tapi sepeda motor matic warna hijau yang ada di teras memberitakan bahwa si empunya ada di rumah. Sial. Jadi benar ia tak ingin pergi?

Tok... tok... tok...

Tiga puluh detik tak ada sahutan.

Tok...tok...tok...

Gemas rasanya tak ada respon. Kurogoh saku celana untuk mengambil ponsel, ahh... aku lupa ponselku tertinggal di atas meja sebab terburu-buru.

Tok..tok..tok..

Hening... gerimis yang menemaniku kini berubah menjadi hujan meski belum deras. Angin senja yang mengandung air membuat gigiku gemeletuk, pakaianku kuyup karena lupa tak menggunakan jaket.

Tiara kau membuatku melupakan apa pun. Buka pintunya.

Tok...tok.. tooookkkk...

Aku telah melanggar batas diperbolehkan untuk bertamu. Seharusnya jika ketukan ketiga tidak mendapat sambutan maka harus kembali ke rumah. Aku tak peduli, kini ada rasa khawatir yang menyusup dalam hatiku.

Klek...

Suara kunci pintu dibuka membuatku lega.

Gadis dengan balutan gaun orange menyegarkan penglihatanku, jilbab senada melambai tertiup angin sepoi. Wajahnya seperti biasa bersinar dengan senyum khas yang hanya ditujukan padaku. Aku yakin sejak awal memilih baju ini pasti ia akan tampil sempurna.

“Kenapa tidak datang?,” rasa amarahku menguap seketika, aku tidak bisa berkata dengan nada tinggi di depan kekasihku ini.

“Maafkan aku, sudah kujelaskan di sms”

Aaahh... perasaan kalut membuatku tak melirik sedikitpun pada benda kecil ajaib itu.

“Kau.... sakit?,” perlahan kutanyakan agar ia tak tersinggung

Senyum lemah itu menandakan segalanya, telapak tangan kirinya menggenggam erat gagang pintu, kepalanya bersender pada tepi pintu yang sedikit terbuka.

“Apa yang terjadi?”

“Biasa, tamu bulanan hadir dengan kejutan”

Aku mendesah.. memukul kepalaku yang terus saja melakukan kebodohan berulang. Tidak mengecek ponsel, terburu-buru dan yang lebih parah lagi mencurigai kekasih hatiku.

Setahun yang lalu, aku menemaninya periksa ke dokter kandungan. Rasa sakit yang tidak wajar setiap kali “tamu istimewa” wanitanya datang. Nyeri di bagian bawah perut, lemas, sakit kepala terkadang disertai mual. Ia sering ijin tidak masuk kerja jika hal ini terjadi.

Kabar baik yang dokter sampaikan bahwa ini normal terjadi bagi sebagian wanita. Kontraksi yang semakin kencang di masa menstruasi menekan pembuluh darah yang mengelilingi rahim, sehingga memutuskan suplai darah dan oksigen ke rahim. Ketiadaan oksigen inilah yang menyebabkan jaringan rahim melepaskan bahan kimia yang menciptakan rasa nyeri.

Dokter menduga tiara merupakan satu dari sebagian wanita yang memproduksi prostaglandin dalam jumlah lebih banyak sehingga lebih merasakan nyeri dibandingkan yang lain.

Rasa tenang menjalari masing-masing dari kami, kekhawatiran akan sebuah gejala dari penyakit berbahaya sirna sudah. Dokter mengatakan bahwa perlahan nyeri ini akan hilang terlebih setelah tiara hamil.

“Ngga disuruh masuk dulu nih?,” tak tega rasanya melihat wajahnya yang pucat pasi diterpa angin basah.

Matanya terpejam, mulutnya sedikit terbuka. Tangan kanannya terangkat memberikan kode menolak permintaanku. Lemah hatiku melihat gadis yang kucintai tak berdaya seperti ini. Tuhan segerakan aku untuk dapat merengkuhnya dalam pelukan. Meski rasa sakit itu tak dapat dibagi namun setidaknya ia tahu betapa aku akan membersamainya dalam kondisi apa pun.

“Istirahat ya, aku pamit pulang”

Ia mengangguk.

Hujan mengantarku kembali ke rumah. Meski segala persiapan indah itu sia-sia, akan kubawa kabar gembira untuk ayah dan ibu, bahwa mereka akan mempunyai seorang menantu yang kuat, tegar dan sempurna. Meski pun raganya belum mampu kuhadirkan dihadapan mereka sore ini. Aku berjanji, secepatnya.


Sumber : www.alodokter.com
Ciani Limaran
Haloo... selamat bertualang bersama memo-memo yang tersaji dari sudut pandang seorang muslimah.

Related Posts

8 komentar

Posting Komentar