Berpuluh
tangkai bunga mawar biru telah tertata apik mengelilingi
meja makan sederhana dengan dua kursi yang berhadapan. Taman belakang
rumah telah kusulap sedemikian rupa agar terlihat menarik, meski tak
begitu luas namun kolam ikan dengan gemericik air, bunga warna-warni
yang memikat, rumput hijau yang telah dirapikan menjadi penyempurna
persiapan untuk sore ini.
“Tiara,
masih ingat janjimu nanti sore?”
Gadis
mungil di depanku mengangguk, tenang rasanya memastikan bahwa ia
mengingat hari ini.
“Ada
kejutan untukmu”
“Untukku?
Seharusnya kejutan itu untukmu, bukankah kau yang berulang tahun?”
Upss...
bodoh, kenapa aku bisa kelepasan bicara sih. Tidak boleh, ia tidak
boleh tahu apa pun tentang rencanaku sore
nanti, persiapanku sangat matang, butuh berbulan-bulan untuk menyusun
konsepnya dan harus hancur hanya karena sikap tergesa-gesaku? Ohh
tidak.. jangan..
“Ahh
manis sekali kau mengingat hari lahirku. Baiklah, aku tunggu jam
empat sore, jangan terlambat”
Kedua telapak tangannya yang juga kecil ia gunakan untuk menutup
mulutnya, menahan tawa. Ya Tuhan jangan ijinkan gadis pintar di
depanku ini mencurigai sikap salah tingkahku, buat ia tidak mampu
membaca gerak tubuhku, kumohon.
“Oiya, jangan dandan berlebihan. Ingat, aku tidak suka”
“Iya, iya..”
“Satu lagi, hadiah untukku”
“Sudah sana pulang, aku harus menyelesaikan pekerjaanku segera”
Bahkan aku jatuh cinta pada caranya mengusirku. Ingin waktu berputar
lebih cepat dan sore menyapa.
**
Lima menit sebelum pukul empat sore hatiku mulai gelisah, Tiara
bukanlah seseorang yang suka mengingkari janji. Mungkin aku
berlebihan, masih ada waktu lima menit lagi. Uuhhh, cepatlah datang
Tiara.
Pukul empat pas. Tak ada bunyi pintu diketuk. Aku mulai senewen,
ibu menghampiri dan menenangkanku, “Mungkin jalanan macet nak, kita
tunggu saja”
Aku mengiyakan kemungkinan yang diungkapkan ibu. Tiga puluh menit
berlalu dan suasana rumah tetap hening. Ayah menyeruput kopinya yang
sudah dingin. Ibu kembali menghampiriku, “Sudah coba kau telpon
nak?”
Tak ada kekuatan untuk menjawab pertanyaan ibu, sebuah gelengan lemah
kurasa cukup menggambarkan kecewanya hati ini.
Satu jam berlalu, cukup. Sudah keterlaluan. Tiara kau tidak hanya
meluluhlantakkan harapanku, sekaligus mempermalukanku di depan kedua
orang tuaku sendiri. Taukah engkau kejutan manis yang telah lama aku
persiapkan? Tepat dihari ulang tahun yang ke 27, sempurna rasanya
jika engkau mejadi pelengkap separuh agamaku. Ya, aku ingin
melamarmu, memperkenalkanmu pada kedua orangtuaku.
Tapi apa? Bahkan kau memberikan harapan dengan janji akan datang saat
kita berbincang tadi pagi, melemparkan senyum manis yang hanya
padaku. Adakah dari diriku yang salah dimatamu? Kenapa tega sekali
kau lakukan ini padaku?
Tiara.... aku harus membuat perhitungan denganmu.
Tanpa berpamitan dengan ayah ibu aku mengambil kunci motor yang
tergeletak di atas meja, tak apalah basah oleh rintik hujan yang baru
saja menyapa, terlalu lama jika menggunakan mobil. Aku sudah tidak
sabar untuk mendengar penjelasan dari gadis yang tak tahu diri akan
penantianku ini.
Dengan kecepatan 100 km/jam aku sampi di depan rumah Tiara dalam
waktu kurang dari dua puluh menit. Rumahnya seperti tak berpenghuni,
selalu sunyi dan sepi. Tapi sepeda motor matic warna hijau
yang ada di teras memberitakan bahwa si empunya ada di rumah. Sial.
Jadi benar ia tak ingin pergi?
Tok...
tok... tok...
Tiga puluh detik tak ada sahutan.
Tok...tok...tok...
Gemas rasanya tak ada respon. Kurogoh saku celana untuk mengambil
ponsel, ahh... aku lupa ponselku tertinggal di atas meja sebab
terburu-buru.
Tok..tok..tok..
Hening... gerimis yang menemaniku kini berubah menjadi hujan meski
belum deras. Angin senja yang mengandung air membuat gigiku
gemeletuk, pakaianku kuyup karena lupa tak menggunakan jaket.
Tiara kau membuatku melupakan apa pun. Buka pintunya.
Tok...tok..
tooookkkk...
Aku telah melanggar batas diperbolehkan untuk bertamu. Seharusnya
jika ketukan ketiga tidak mendapat sambutan maka harus kembali ke
rumah. Aku tak peduli, kini ada rasa khawatir yang menyusup dalam
hatiku.
Klek...
Suara kunci pintu dibuka membuatku lega.
Gadis dengan balutan gaun orange menyegarkan penglihatanku, jilbab
senada melambai tertiup angin sepoi. Wajahnya seperti biasa bersinar
dengan senyum khas yang hanya ditujukan padaku. Aku yakin sejak awal
memilih baju ini pasti ia akan tampil sempurna.
“Kenapa tidak datang?,” rasa amarahku menguap seketika, aku tidak
bisa berkata dengan nada tinggi di depan kekasihku ini.
“Maafkan aku, sudah kujelaskan di sms”
Aaahh... perasaan kalut membuatku tak melirik sedikitpun pada benda
kecil ajaib itu.
“Kau.... sakit?,” perlahan kutanyakan agar ia tak tersinggung
Senyum lemah itu menandakan segalanya, telapak tangan kirinya
menggenggam erat gagang pintu, kepalanya bersender pada tepi pintu
yang sedikit terbuka.
“Apa yang terjadi?”
“Biasa, tamu bulanan hadir dengan kejutan”
Aku mendesah.. memukul kepalaku yang terus saja melakukan kebodohan
berulang. Tidak mengecek ponsel, terburu-buru dan yang lebih parah
lagi mencurigai kekasih hatiku.
Setahun yang lalu, aku menemaninya periksa ke dokter kandungan. Rasa
sakit yang tidak wajar setiap kali “tamu istimewa” wanitanya
datang. Nyeri di bagian bawah perut, lemas, sakit kepala terkadang
disertai mual. Ia sering ijin tidak masuk kerja jika hal ini terjadi.
Kabar baik yang dokter sampaikan bahwa ini normal terjadi bagi
sebagian wanita. Kontraksi yang semakin kencang di masa menstruasi
menekan pembuluh darah yang mengelilingi rahim, sehingga memutuskan
suplai darah dan oksigen ke rahim. Ketiadaan oksigen inilah yang
menyebabkan jaringan rahim melepaskan bahan kimia yang menciptakan
rasa nyeri.
Dokter menduga tiara merupakan satu dari sebagian wanita yang
memproduksi prostaglandin dalam jumlah lebih banyak sehingga lebih
merasakan nyeri dibandingkan yang lain.
Rasa tenang menjalari masing-masing dari kami, kekhawatiran akan
sebuah gejala dari penyakit berbahaya sirna sudah. Dokter mengatakan
bahwa perlahan nyeri ini akan hilang terlebih setelah tiara hamil.
“Ngga disuruh masuk dulu nih?,” tak tega rasanya melihat
wajahnya yang pucat pasi diterpa angin basah.
Matanya terpejam, mulutnya sedikit terbuka. Tangan kanannya terangkat
memberikan kode menolak permintaanku. Lemah hatiku melihat gadis yang
kucintai tak berdaya seperti ini. Tuhan segerakan aku untuk dapat
merengkuhnya dalam pelukan. Meski rasa sakit itu tak dapat dibagi
namun setidaknya ia tahu betapa aku akan membersamainya dalam kondisi
apa pun.
“Istirahat ya, aku pamit pulang”
Ia mengangguk.
Hujan mengantarku kembali ke rumah. Meski segala persiapan indah itu
sia-sia, akan kubawa kabar gembira untuk ayah dan ibu, bahwa mereka
akan mempunyai seorang menantu yang kuat, tegar dan sempurna. Meski
pun raganya belum mampu kuhadirkan dihadapan mereka sore ini. Aku
berjanji, secepatnya.
–
Sumber : www.alodokter.com
Aih,romantis sekali,.meski sederhana..
BalasHapusAih,romantis sekali,.meski sederhana..
BalasHapusCowoknya negatif thinking mulu pake ngebut segala. getok cowoknya
BalasHapusAinayya kira tokoh 'aku' tadi itu cewe. Eh, engga tahunya cowo. Hehehe
BalasHapusKeren, kak
keren di ci,,,
BalasHapusSo sweet...
BalasHapusSo sweet...
BalasHapusIhh mina ci hebat kali kau..😱
BalasHapus