“Neng,
lagi jatuh cinta ya? Dari tadi senyum-senyum sendiri”
Aku menepuk
pelan dahiku, malu rasanya abang tukang es buah memergokiku seperti
ini, “hhii, udah belum bang?,” tanyaku megalihkan perhatian.
“Udah
Neng, enam belas ribu”
Ayunan
langkah kakiku seolah tak menapaki tanah, ringan seperti suasana hati
yang riang tak terkira, mungkin jika diteruskan aku bisa terbang
seperti sepasang burung kecil yang berkejaran tak jauh di atasku.
Dua blok
lagi aku akan sampai, jadi kutahan senyum tak jelas ini sebab akan
sangat memalukan jika Ibu atau adik kecil itu mengetahuinya. Ahhh
mereka tak akan berhenti untuk terus mengejekku dan pasti orang yang
menjadi alasanku tersenyum akan merasa menang. Ya.. yaa... aku masih
punya gengsi untuk memperlihatkan rasa cintaku.
Arya
bermain kelereng di depan rumah, tenggelam dalam dunianya sendiri
hingga tak menyadari kedatanganku.
“Permisi
jagoan”
Adik kecil
itu mendongakkan kepalanya, terkejut. Berhasil, suka sekali aku
membuat kejutan untuk keluarga ini.
“Kak
Mun?”
Aku
mengangguk dan menunjukkan bungkusan di tanganku, es buah kesukaan
dia dan kakaknya.
“Kenapa
baru datang?”
Baru
datang? Biasanya ia akan bertanya kenapa datang tak beri kabar.
Lagi pula dua minggu lalu aku
sudah ke rumah ini, belajar memasak dengan ibu juga menemaninya
membuat berbagai bentuk
origami.
“Kak
Mun, terlihat bahagia, ada apa?”
“Hei
jagoan, kenapa pertanyaanmu seperti itu? Tidakkah kau bahagia melihat
kedatanganku?”
“Kakak
terlalu lama datang, sungguh tega membiarkan Kak Rio kesakitan”
Senyumku
menghilang, adakah yang terlewat? Ahh ya, seminggu ini Rio berbeda,
tak banyak memberikan kabar kepadaku. Ia berdalih sibuk, aku
memaklumi. Namun rinduku sudah tak lagi terbendung sebab ia selalu
menolak untuk mengangkat telpon, merusak fokus, begitu katanya.
Itulah alasan mengapa sekarang aku berada di rumah ini. Aku rindu
Rio.
“Ibu
ada di dalam?”
Arya
mengangguk.
“Kak
Mun masuk saja, aku tak mau masuk”
“Kenapa?”
“Aku
sedih setiap melihat Kak Rio”
Detak
jantungku tak beraturan, kutinggalkan Arya yang kembali sibuk dengan
beberapa kelereng yang tersebar di halaman. Ruang tamu terlihat
lengang, ucapan salamku tak ada sahutan. Ruangan selanjutnya adalah
kamar Rio, bimbang untuk masuk, tak elok rasanya jika seorang gadis
tanpa ijin memasuki kamar laki-laki. Daun pintu sedikit terbuka dan
kulihat ibu duduk di kursi sebelah ranjang. Dimana Rio?
Kuurungkan
niat untuk mengetuk pintu. Menunggu disini kurasa pilihan yang tepat.
Tak
lama berderak suara pintu
terbuka, kudapati Ibu sedikit terkejut menyadari kehadiranku.
Tangannya bergetar saat aku menciumnya.
“Ada
yang aku lewatkan, Bu?”
Ibu
tersenyum, ada yang disembunyikan. Mata tuanya menyiratkan sesuatu.
“Rio
kecelakaan seminggu yang lalu, kakinya retak tapi ia tak apa-apa.
Hanya butuh istirahat saja”
Seminggu
yang lalu? Waktu dimana Rio mulai mengurangi tegur sapa denganku.
Kenapa ia tak bilang?
“Boleh
aku menjenguknya, Bu?”
“Silahkan,
tapi ia
baru saja minum obat dan tertidur”
“Aku
tak kan menganggunya, hanya sebentar, aku berjanji”
Perlahan
kubuka pintu kamar Rio, mendapati tubuh lemah itu terbujur tak
berdaya dengan selimut menutup hingga ke dada, matanya terpejam. Tak
ada yang berbeda, ia seperti tidur biasa. Namun telapak kaki kanannya
berbalut perban, bagian sekitarnya terlihat lebam.
Aku
berjanji untuk tak terlalu lama jadi aku keluar kamar segera
mendekati Ibu yang sedang mengaduk teh.
“Ibu,
berjanjilah satu hal padaku”
Wajah
teduh ini yang membuatku merasa seperti berada dalam keluargaku
sendiri. Menentramkan dan menenangkan.
“Rio
tidak
mengatakan apa pun tentang kecelakaan yang menimpanya, dan Ibu tahu
ia begitu sensitif jika banyak orang melihatnya lemah seperti ini.
Komohon jangan katakan bahwa aku datang”
Kedua
tangan Ibu memeluk tubuhku, aku tahu setegar apa pun beliau pasti
pedih melihat anaknya terluka. Aku mengerjapkan mata, mencoba menahan
genangan air yang selalu datang saat
khawatir menyusup jika sesuatu terjadi pada keluarga ini.
Arya
berulang kali memohonku untuk tinggal, “Setidaknya Kak Mun harus
menunggu Kak Rio terbangun, ya Kak?”
“Arya,
jaga kakakmu ya, Kak Mun harus segera pulang tapi percayalah Kak Mun
pasti akan datang lagi”
“Kapan?”
Aku
mengerling, “Tunggu saja”
Kini,
langkahku berat, seolah beban berlipat ganda di
pundakku. Ingin sekali rasanya untuk tetap tinggal. Sudahlah, Rio
selalu ingin menjadi kuat di depan mataku.
Cepat
sembuh Rio. Aku merindumu.
Rio kok mirip aku banget yah ?pukpuk rio cepat sembuh
BalasHapusJiiaah, ngaku-ngaku atau memang seperti itu?
HapusCiieeh
Kode berat, hhh
BalasHapusKode berat, hhh
BalasHapus