Dia baru saja pulang dari ibu kota
pagi tadi dan sore ini aku diajaknya bersepeda angin untuk berkeliling desa,
berboncengan, berdua. Ahh dia... paham sekali bahwa kerinduanku melebihi siapa
pun yang menantinya kembali. Ada rasa canggung saat aku berada begitu dekat
dengan nya, mencium aroma tubuhnya yang wangi sabun juga melihat punggungnya
yang lebar. Begitu banyak yang ingin kutanyakan pada kesempatan ini diwaktu
yang ku rasa tepat untuk mengeluarkan kegelisahan yang lama ku pendam.
“Boleh aku bertanya seberapa besar
rasa sayangmu pada ku?”
Ia sepertinya tak berniat untuk
menjawab pertanyaan konyolku, tapi meningkatkan kecepatannya mengayuh sepeda,
membelok-belokan setang sepeda dengan ekstrem dan menaiki pinggir jalanan yang
sedikit meninggi tanpa mengurangi kecepatan. Ku eratkan pegangan tanganku,
membentuk lingkaran yang erat di perutnya juga melekatkan kepala ku pada
punggungnya, ku pejamkan mataku dan menahan jeritan karena tidak mungkin aku
berteriak di jalanan sepi yang tidak banyak orang berlalu lalang, sia-sia, juga
tidak etis mengingat umurku yang hampir seperempat abad ini. Setelah beberapa
detik, ia mengembalikan kecepatan sepeda kami ke batas wajar.
“Seberapa mengerikannya hidup yang kau
hadapi akan ada aku untuk tempatmu berpegang, paham?”
Aku mengangguk tanpa bersuara,
senyumku mengembang.
“Kalau suatu saat ada yang akan
mengambilku dari mu, apa yang akan kau lakukan?”
Dia menghentikan laju sepeda.
Mengisyaratkanku untuk turun. Kami berjalan diatas pematang sawah setelah
memarkirkan sepeda pada pohon blinjo di pinggir jalan, dua ratus meter kami
memutuskan untuk duduk di gubug yang beratapkan jerami. Hening. Kamera digital
seukuran saku ia keluarkan dari tas kecilnya, memastikan semua nya siap dan
mengambil gambar pemandangan di depan kami, keong-keong yang berkumpul di bawah
batang padi, ikan-ikan kecil yang berenang kesana-kemari juga burung-burung
kecil yang sibuk mondar-mandir dengan batang jerami di paruhnya.
“Jadi jawaban atas pertanyaanku apa?”
Ia mengarahkan lensa kameranya ke
arahku yang terdiam menanti responnya, dan beberapa gambar diriku telah
berhasil diabadikan dalam benda berbentuk kotak ajaib itu.
Akhirnya ia kembali duduk
disampingku, mengalihkan kamera dari depan wajahnya dan serius memandang
satu-satunya makhluk tercantik di dekatnya kini.
“Dia harus bisa mengalahkan aku”
Aku menggeleng lemah, “Yakinlah tak
ada yang mampu mengalahkan mu dalam segala hal”
“Kalau begitu tak ada yang boleh
mengambilmu dari ku”
“Jahaattt...”, tentu aku menjawabnya
dengan senyum manja.
“Apa yang akan kau lakukan jika suatu
saat aku membawa wanita yang yakinlah tak akan seistimewa kau ke kehadapanmu?”
“Aku tak akan berkomentar, siapa pun
itu dia telah memenangkan hatimu dan kupastikan bahwa senyummu untuk ku tak kan
terbagi bahkan hadirnya”
“Baguss... berarti bantu aku merayu
ayah dan ibu untuk segera membawa gadis itu untuk berada dalam satu figura foto
kita”
“86 komandan”
Semburat jingga menjadi pemandangan
yang berbeda sore ini, mungkin juga terakhir kalinya untuk kebersamaan yang
harusnya selalu dimaknai istimewa bahkan sebelum perpisahan jelas di depan mata.
Tangan berat itu kini berada di atas
kepala ku entah gaya berfoto gimana lagi yang ingin ia abadikan. Aku sayang
dia, sayang sekali.
Hmmm..
BalasHapusEnding yang menggantung tapi suka suka auka
Percakapannya ....so sweet....
BalasHapusJadi pingin bertanya hal itu pada seseorang kelak...hehehhe
Makasih mbak ciani...jadi kepo jawabannya...sama kayak kisah mbak ciani ga yach...hahhaha