Kepingan Rasa Puzzle 36

6 komentar
Puzzle sebelumnya di sini.

Mataku masih menunduk, menekuri setiap inci keramik di dalam kelas. Romeo berharap cemas, menanti aku mengangguk atau mengucapkan kata yang berarti sama tentang persetujuan. Di bawah meja, kedua tanganku saling meremas, mengunci dan susah untuk diurai kembali.

"Jadi gimana, Sayang?"

Suara ayah menggema di setiap sudut ruangan. Romeo tak juga mengalihkan tatapannya, aku dapat merasakan itu meski tidak mendongak untuk memastikannya.

"Cili, maafin Gilang yah..."

Romeo, ahli bertukar topeng, ia pandai menjadi apa saja terlebih untuk sahabat karibnya itu, tapi aku tahu ia tulus.

"Kan kamunya denger sendiri gimana Ibu Gilang cerita..."

Kedua tanganku berhasil terlepas, kini kuku ibu jari kanan menjadi sasaran dari rasa bimbangku, menggigit kuku tidak dianjurkan oleh ahli kesehatan manapun namun jika ditilik dari pakar psikologi itu cukup menjadi pertanda akan kecemasan dan rasa bingung yang mendera.

"Oke gini, aku antar jemput kamu deh buat ke rumah sakit, aku traktir setiap makan siang, terus kamu boleh juga bales apa pun sakit hati ke Gilang. Mau yah?"

"Bapak juga di traktir makan siang ya Romeo?"

"Eh, anu pak yang bagian itu bohongan soalnya saya aja masih punya utang di kantin."

Ayah menggeleng mengetahui kelakuan salah satu anak didiknya.

"Ayah tahu kamu cemas melihat Gilang tertimpa musibah kemarin, ini cara untuk membantunya, atau Ayah saja yang mengajarinya?"

"Tidak perlu repot-repot Pak."

Penolakan itu jelas keluar dari mulut Romeo, lagian siapa yang mau diberikan pelajaran tambahan oleh guru matematika yang menakutkan itu, ups, aku lupa beliau ayahku sendiri.

Akhirnya aku setuju, dengan catatan Romeo juga harus ada di sana.

Romeo mengangguk.

**

"Hai Cili... kita belajar apa hari ini?"

"Matematika," ucapku singkat atas pertanyaan Gilang.

"Duh, kepalaku tiba-tiba pusing nih."

"Nggak usah alasan."

Gilang bersungut.

"Cili..."

"Apa lagi?"

"Kan aku nggak punya buku."

Kali ini senyum lebar Gilang hadirkan seolah berhasil membuatku menunda memberikan pelajaran tambahan. Romeo terkikik. Demi melihat aku menatap tajam Romeo, ia segera membuka tas sekolahnya dan mengeluarkan buku tulis serta pena. Gilang mengeluh pelan.

"Bisa kita mulai?"

"Tunggu Cili... Romeo suruh pulang aja deh, gangguin."

Romeo dengan senang hati berdiri, kembali aku melayangkan tatapan mengancam yang membuatnya duduk dengan terpaksa.

"Aku harus ikut Lang, soalnya nilai matematika aku cuma dua."

"Hah? parah kamu, ngapain aja di sekolah?"

"Makan di kantin sama kamu."

"Oh iya yak."

Tawa menggema di ruang rumah sakit. Aku berdehem menghentikan obrolan nostalgia mereka. Sepertinya ini tidak akan mudah.


Ciani Limaran
Haloo... selamat bertualang bersama memo-memo yang tersaji dari sudut pandang seorang muslimah.

Related Posts

There is no other posts in this category.

6 komentar

  1. Di bukukan aja deh... udah layak ini jadi novel couple

    BalasHapus
  2. Hahahaha....

    Iya...kapan tamat dan dibukukan

    BalasHapus
  3. horay ... mendarat di mari 😃

    BalasHapus
  4. Ini rumah sakit apa ya ceritanya? Apa tebak2an saya bener? 😀

    BalasHapus

Posting Komentar