Sahabat Pena

2 komentar
Matahari sempurna menampakkan diri, sinarnya menjadi syarat berlangsungnya kehidupan di bumi. Aku memilih salah satu bangku yang menghadap ke pintu, sengaja.

Hari ini pertama kalinya akan bertemu dengan seseorang, sebut saja sahabat pena. Ya pengalaman pertama bertemu dengan sahabat pena. Apa yang membuat istimewa?

Sebelumnya hanya mampu berinteraksi dalam coretan-coretan, tanpa tahu mimik asli bagaimana ia saat membaca balasan tulisanku. Sekarang?

Ahh, tubuhku bergoncang tak sabar.

Beberapa kali aku melirik jam yang melingkar di pergelangan tangan, belum terlambat.

Detik jarum jam semakin membuat jantungku berdegub, ada sesuatu yang tak tergambarkan kini. Mencoba mengkhayal namun gagal. Hey, ayolah cepat datang.

Seperti apa ya ia?

Meskipun beberapa kali ia melampirkan foto tetap saja sulit untuk sepenuhnya membayangkan wujud nyatanya.

Andai saja semuanya bisa lebih mudah, tapi, di tahun 1990 kurasa tukang pos adalah dewa bagi hati-hati siapapun yang ingin menyambung erat sebuah hubungan jarak jauh. Tapi entah bagaimana, di masa depan nanti aku yakin, semua ini akan lebih mudah, kita tunggu saja waktu itu.

Tak ada yang bisa aku lakukan selain menunggu.

Taman kota pukul 09:00 pagi, hari selasa.

Baik, aku tidak salah waktu, hanya sedikit gugup.

Kepalaku memutar ke segala arah, mencoba mengamati sekitar.

Baju biru dengan jilbab motif bunga.

Belum terlihat.

Eh, dari pintu masuk taman ada seseorang yang berjalan menuju ke arahku, jilbab motif bunga namun karena memakai jaket aku tidak tahu baju apa yang ia kenakan.

Ia kah itu?

Tapi, ia menggandeng seorang gadis kecil mungil lalu di belakangnya seorang anak laki-laki berjalan sejajar dengan pria dewasa.

Sudah berkeluarga?

Oh Tuhan, benarkah? aku bahkan menganggapnya teman sebaya, duh, berarti selama ini aku tidak sopan.

Ia tersenyum ke arahku dan itu menjawab segala pertanyaan, benar ia orangnya.

"Hai..." sapanya ramah.

Aku mematung, sungkan.

"Hai... kok bengong sih?"

"Eh, mbak... hheee.."

Aku salah tingkah.

"Nggak percaya ya aku udah punya anak?"

Tepat dugaannya.

"Tenang aja, kita akan kembali dapatkan suasana saat bertukar surat. Yuk duduk."

Tersadar bahwa aku sejak tadi berdiri untuk menyambutnya.

Satu per satu anggota keluarga ia kenalkan, suaminya, sulung sang jagoan lalu putri kecil mereka, Kazumi.

"Kuliah lancar?"

"Alhamdulillah, sudah magang."

"Hey, gugup gitu?"

"Inilah, hhaaa..." Aku tertawa mencoba mencairkan rasa canggungku. Berbeda, sungguh ternyata pertemuan di dunia nyata lebih mengasyikkan dibanding saling bertukar surat dan menunggu balasan yang memakan waktu.

Sisa hari itu akhirnya aku mampu kembali menjadi diriku sendiri, kejutan-kejutan kecil yang tak tertuang dalam surat menjadi pemanis pertemuan hingga rengek manja si kecil menandakan kami sudah cukup lama bertukar kata.

"Semangatlah adik kecil, jangan mau kalah sama ibu dua anak."

Kami tertawa, aura kegembiraan menyeruak ke udara.

Perpisahan hanya bagian yang harus di jalani saat pertemuan tercipta, tenang ini hanya raga sebab jiwa kami telah terikat oleh sesuatu yang hangat, semoga bertambah rekat.
Ciani Limaran
Haloo... selamat bertualang bersama memo-memo yang tersaji dari sudut pandang seorang muslimah.

Related Posts

2 komentar

Posting Komentar