Kepingan Rasa Puzzle 22

2 komentar
Baca puzzle sebelumnya di sini


Gelengan lemah ditunjukkan Dania, dari sorot matanya jelas terpancar sikap prihatin yang teramat. Aku menunduk. Genggaman tangan Agni tak mampu merubah apa pun, semuanya jelas, siapa yang tidak membawa buku paket, keluar dari kelas.

Pak Arif memasuki ruang kelas, suasana hening seketika. Masing-masing dari kami, kecuali aku, mengeluarkan buku paket serta perlengkapan lainnya ke atas meja. Guru Kimia yang tak mau waktu terbuang percuma. Raiya meremas jemarinya sendiri di seberang meja, ia jelas tahu kekhawatiran yang kurasa.

"Selamat pagi, Anak-anak," suara beliau menggema di dalam kelas, membuatku sesak untuk mengambil oksigen.

"Pagi, Pak," teman-teman menjawab, tentu aku bukan diantaranya, ada yang mencuri kemampuanku untuk melakukan itu.

"Baik, sekarang kita lanjutkan pelajaran."

Demi mendengar Pak Arif mengatakan hal itu, keringat dingin telah muncul satu dua di dahiku.

"Kita akan mengahapal letak unsur dalam periode dan golongan."

Teman sekelas mengeluh, sebanyak itu? 

"Tidak perlu panik, Bapak akan senang hati memberikan trik untuk mudah menghapalnya. Sekarang buka buku paket kalian halaman 63."

Suara lembaran-lembaran kertas dibuka menguap ke udara, mengiris telingaku, hanya menunggu waktu hingga Pak Arif menyadari ada siswanya yang tidak disiplin.

"Alvin..."

Orang yang merasa disebut namanya terkejut, pastilah akan ada pertanyaan setelah ini.

"Terletak di periode dan golongan berapakan unsur perak?"

Hening, tak hanya Alvin tapi semua murid sibuk mencari jawabannya. Sepuluh detik berlalu dan Alvin masih sibuk menelusuri tabel dengan banyak unsur di hadapannya.

"Dulu, sewaktu Bapak menjadi murid seperti kalian, malam sebelumnya sudah membaca materi untuk esok hari. Itu yang dinamakan bertanggung jawab terhadap diri sendiri. Memangnya kepintaran kalian itu tanggung jawab guru? kalian sendiri yang harus memperjuangkannya. Paham?"

Satu dua menjawab paham dengan intonasi rendah, sisanya hanya manggut-manggut, mengiyakan.

Pak Arif memulai ritualnya, beliau harus memastikan semua murid lengkap membawa semua yang dibutuhkan untuk menunjang pelajaran. Berjalan mengitari seluruh kelas. Meskipun kami lengkap membawa buku paket, buku catatan, dan buku tugas sekalipun tetap saja jantung serasa berdetak lebih cepat setiap Pak Arif melewati meja.

Aku menelan ludah, hanya hitungan menit Pak Arif akan sampai di mejaku. Agni tertunduk, padahal ia lengkap, harusnya tak perlu khawatir.

Tak ada yang aku lakukan, mengecek ulang ke dalam tas jelas tak mungkin. Tadi teman-temanku sudah memastikan bahwa buku paket itu tidak berada di sana, jika sekarang kuulangi berpuluh kalipun tidak ada gunanya. Bahkan mungkin malah membuat gaduh.

Kepastian akan di keluarkan sudah di depan mata, tak terelakan. Aku memukul pelan kepalaku, kenapa harus terulang lagi kejadian memalukan seperti ini?

Dulu, aku pernah lupa membawa tugas rumah, itu karena nenek sedang dirawat di rumah sakit. Sebenarnya bukan tidak mengerjakan tapi buku tugasku tertinggal di rumah, aku berangkat ke sekolah dari rumah sakit, benar-benar tidak menyadarinya saat itu.

Bu Yayuk meminta ketua kelas untuk mengumpulkan buku tugas kami. Aku menggeleng lemah saat buku itu tidak ditemukan di dalam tas, dan tak perlu mengulang perintah untuk menurut saat Bu Yayuk menyuruh siapa saja yang tidak mengerjakan untuk keluar kelas.

Matematika adalah pelajaran kesukaanku, jadi tidak mungkin aku tidak mengerjakannya. Buku tugasku tertinggal, seandainya tahu sejak awal pasti akan aku kerjakan segera. Tidak terlalu sulit, aku masih hapal caranya, tidak butuh waktu lama, sayangnya semua terlambat.

Empat puluh lima menit aku habiskan di lorong sekolah, menerka-nerka bagaimana Bu Yayuk menjelaskan tentang rumus baru, aku pasti tertinggal. Aku menunduk, mau bagaiamana lagi.

Satu dua teman beda kelas menyapaku, menanyakan ada apa, aku mengangkat bahu lemah, mereka hanya tersenyum simpati. Tak apa-apa, sekali-sekali menjadi anak nakal, itu menyenangkan. Aku tak membalas.

Jika para guru yang lewat mereka sebentar akan memberikan wejangan agar aku tak mengulanginya lagi, aku patuh, dalam hati berjanji untuk lebih disiplin.

Sekarang? Aku melanggar janjiku sendiri.

Pak Arif tiba di meja Dania dan Raiya, satu tengokan saja beliau akan mendapati bahwa hanya ada satu buku paket di mejaku dan Agni. Yang bisa kulakukan hanya bersiap untuk keluar kelas.

Dalam gerakan slow motion Pak Arif menghadapkan tubuhnya ke meja kami, bola matanya mengecek satu persatu apa yang seharusnya ada di situ. Baru kusadari aku berhenti bernafas, detik-detik seluruh kelas mengetahui sikap tidak disiplinku.

"Cili.. buku paket kimiamu terjatuh, ini aku ambilkan."

Pak Arif geleng-geleng melihat itu semua, "Ayo segera di buka halaman yang Bapak sebutkan tadi.

Bukan... itu bukan buku paketku, buku paketku tersampul rapi, sedang ini tidak tersampul, ini bukan buku paketku. Tapi seseorang di belakangku yang mengangsurkan buku paket itu melotot seolah menyuruh untukku mengambilnya segera. Bagaimana bisa ia mengorbankan diri, menggantikanku untuk keluar kelas?

Pak Arif berjalan ke meja selanjutnya, ke meja dimana orang itu seharusnya tahu konsekuensi dari perbuatannya. Buku paket kimia itu sudah ditanganku, ia malah tersenyum, seolah di suruh keluar kelas bukanlah hal yang menakutkan.

Gilang.


Ciani Limaran
Haloo... selamat bertualang bersama memo-memo yang tersaji dari sudut pandang seorang muslimah.

Related Posts

2 komentar

Posting Komentar