Kepingan Rasa Puzzle 16

3 komentar
Silahkan baca puzzle sebelumnya di sini

Aku mengerti betul bahwa permintaan maaf dari Gilang tulus terdengar, ia menyampaikan tidak dengan main-main entah karena sungkan padaku atau ada sebab lain.

Sebenarnya bukan perkataan Gilang tentang ayah yang membuatku terluka, sebagai murid aku sungguh paham bahwa ada beberapa guru yang memang favorit untuk dibicarakan, sudah maklum. Toh terkadang para guru mengerti bahwa dirinya terkenal di kalangan para murid dan beliau-beliau dengan bijaksana akan memaafkan, gejolak remaja atau semacamnya, begitu kira-kira.

Andaisaja Gilang mengatakan hal itu saat suasana hatiku normal pasti kutanggapi dengan senyuman tapi sekarang berbeda, emosiku menggerus akal sehat hingga sebuah bentakan membungkam pernyataannya. Mungkin ia hanya ingin membuka percakapan denganku yang sedari tadi diam tanpa kata. Ahh, sedikit menyesal tapi aku sedang tak bisa menguasai diriku sendiri.

Gilang masih menjalankan hukuman untuk membersihkan toilet sekolah sedang aku menghambur masuk kelas untuk menenangkan diri.

Ayah... maafkan anakmu ini ya...

Kalimat yang terus kuulang dalam hati, ingin rasanya menelpon ibu di rumah tapi ayah belum mengijinkanku membawa ponsel ke sekolah, bisa pakai punya ayah kalau butuh, tapi dengan situasi saat ini bertemu dengan ayah pun aku malu.

Nenek... apa kautahu rasanya saat membuat ayah kecewa?

Dulu setelah ayah dan ibu selesai menelpon dari Bandung untuk bertanya kabar, sering aku bertanya pada nenek kenapa mereka harus melakukan itu. Nenek tersenyum saat aku melontarkan komentar bahwa mereka tak percaya pada penjagaan nenek.

"Itu tandanya mereka sayang kamu, Nak."

"Sayang? Lalu bagaimana caraku untuk membalasnya, Nek?"

"Mudah, jangan buat mereka kecewa."

Saat itu aku mengangguk paham, tak menyangka bahwa sekarang terjadi dan aku belum bertanya pada nenek apa yang harus aku lakukan bila terlanjur menyakiti ayah, pasti ibu pun ikut kecewa melihat perbuatanku.

Awan putih berarakan di langit biru di atas sekolah, cerah, mentari garang memancarkan sinarnya yang dengan cepat memaksaku untuk berpaling dari menatapnya.

Lelehan hangat membasahi pipi yang dengan segera aku hapus, ahh mataku perih menatap mentari, lirihku berdusta.



Ciani Limaran
Haloo... selamat bertualang bersama memo-memo yang tersaji dari sudut pandang seorang muslimah.

Related Posts

There is no other posts in this category.

3 komentar

Posting Komentar