Tentang Kamu dan Akhir Cerita

2 komentar
Aku baru saja meletakkan ponsel saat teriakan dari luar terdengar, pasti itu Nina. Ini Membuat semacam detakan jantung yang tak beraturan.

"Dikaaaaaa....."

"Iya," jawabku di ambang pintu.

Mudah saja menerka mau apa ia kesini. Surat kabar terlipat telah ada dalam genggamannya.

"Mau masuk ke dalam?" tawarku.

"Di luar aja, aku buru-buru nih."

"Mumpung nggak ada orang loh," godaku tapi Nina tidak menggubris. Ia sudah duduk di kursi teras dan membentangkan surat kabar pada halaman tertentu, spidol warna orange menyala sedia di tangan kanan. Ia siap beraksi.

"Lihat, bagaimana engkau bisa membuat yang semacam ini," katanya sembari memelototi setiap baris kalimat.

"Lalu harusnya bagaimana?"

"Seharusnya Amara tidak mati, ia berhasil diselamatkan meskipun mobil ambulan datang sedikit terlambat..."

Aku membiarkan ia mencoret kalimat yang tidak sesuai dengan keinginannya.

"... dan Kevin hidup bahagia bersama Amara selama-lamanya. Selesai. Bagaimana?"

"Bagus juga. Kenapa kamu tidak jadi penulis saja?"

"Sibuk."

"Sibuk apa?"

"Sibuk membenarkan akhir ceritamu."

"Hahaa."

"Heran tidak?"

"Apa?"

"Kenapa ceritamu yang selalu berakhir sedih ini bisa dimuat di surat kabar?"

"Iyaa, heran."

"Hahaa. Kenapa nulis sad ending  terus, sih?"

"Karena akhir bahagia adalah tugasmu."

Kami tertawa.

"Apakah segala yang berhubungan denganmu selalu berakhir sedih?"

Aku tersentak, tidak menyangka Nina akan melontarkan pertanyaan semacam itu.

"Itu kan hanya cerita."

"Aku tidak suka."

"Iya. Mana, kasih aku kertas koreksianmu."

Aku menandatangani kertas agenda Nina untuk meminta persetujuan perubahan akhir cerita langsung dari penulisnya. Anak itu memang aneh.

"Sudah? Aku langsung pulang ya, oh ya aku suka kamu jadi penulis," ujarnya setelah mengambil buku agenda berwarna pink dari tanganku.

"Aku juga suka," balasku. Sebenarnya ada kata "kamu" di akhir kalimat, tapi itu kuucapkan dalam hati saja.

Nina melangkah keluar dari halaman, langkahnya lincah setengah melompat, riang sekali.

"Ninaaa...," panggilku tiba-tiba yang mengejutkan diriku sendiri kenapa harus memanggilnya.

"Apa?"

Aku suka cara ia menoleh.

"Besok kau akan datang kemari lagi."

"Kenapa?"

"Percaya saja."

"Kau mau buat akhir cerita tentangku?"

"Tidak. Cerita fiksi memang kuasaku sebab akulah penciptanya sedang kau bukan."

"Mau bantu aku?"

"Apa?"

"Rayulah Tuhan, minta agar akhir cerita kita bahagia."

"Iya."

Nina benar-benar pergi dari rumahku. Ia mungkin tidak tahu kalau apa yang baru saja ia pinta sudah aku laksanakan sejak pertama kali melihat senyumnya. Gadis yang tinggal dua blok dari rumahku itu selalu datang untuk menulis ulang ceritaku yang dimuat di setiap surat kabar, tak lupa membawa buku agenda dan spidol orange menyala untuk meminta ijin dariku, penulis aslinya. Ia tak pernah suka akhir cerita yang sedih.

Ia lah alasan keduaku untuk terus menulis dan harus berakhir pedih, tentu saja agar Nina datang ke rumah.

Jika kalian bertanya apa alasan pertamaku maka akan kujawab bahwa aku belum memikirkannya.

Ponselku berdering, dua garis lengkung terbentuk seketika melihat nama Pak Gatra muncul di layar, ini pasti tentang cerita yang aku kirimkan bulan lalu, dan itu berarti tebakan bahwa Nina akan datang lagi ke rumah besok benar adanya.

Ahh Nina.


Ciani Limaran
Haloo... selamat bertualang bersama memo-memo yang tersaji dari sudut pandang seorang muslimah.

Related Posts

There is no other posts in this category.

2 komentar

Posting Komentar