Kepingan Rasa puzzle 2

5 komentar
Silahkan baca dulu Kepingan Rasa puzzle 1



Sekolah siang ini begitu lengang, tiga puluh menit berlalu sejak bel tanda pulang sekolah berbunyi. Aku masih di sini, duduk sendiri di depan lab fisika yang menghadap ke lapangan utama. Menunggu Monica yang ingin pulang bersama tapi ia masih sedikit ada perlu dengan anggota teater yang lain.

Monica, bukan teman sekelasku tapi kami cukup akrab. Awal pertemuan kuingat saat awal Masa Orientasi Siswa, ia kalang kabut sebab pita merah putih untuk menguncir rambutnya kurang satu, jatuh entah dimana. Aku menghampirinya dan menyerahkan pitaku, tenang bukan aku baik hati tapi memang di dalam tas karungku tersedia banyak pita. Aku suka pita.

Rasa terima kasih dengan berlebihan ia tunjukkan, dengan mentraktirku makan di kantin, menyerahkan coklat dengan banyak taburan kacang almond juga berjanji akan membelikan bros bunga cantik untukku.

“Tidak usah.”

“Kau harus mau.”

Aku mengangguk dan ia tersenyum.

Kedekatan kami semakin erat sebab ternyata berada dalam satu kelas yang sama, XF. Sayangnya berpisah karena kelas XI ia memilih jurusan bahasa untuk mendalami Inggris sedang aku memilih jurusan IPA karena bercita-cita menjadi guru matematika kelak, seperti ayahku.

Jarak kelas yang cukup jauh tidak mengurangi kualitas persahabatan kami. Sesekali saat istirahat entah yang pertama atau kedua kami habiskan untuk pergi ke perpustakaan, ia meminjam novel sedang aku mendalami rumus barisan dan deret aritmatika.

“Hey, bacalah novel ini. Ijinkanlah otakmu untuk melihat cinta bukan hanya angka.”

“Cinta itu apa?”

Monica menepuk pelan dahinya lalu mengetukkan ujung telunjukknya di atas meja, menimbulkan suara berisik hingga beberapa siswa menoleh kesal kepada kami. Aku meringis sambil menangkupkan kedua tanganku di depan dada, simbol permintaan maaf.

Jika pada istirahat pertama dan kedua kami tidak bisa bertemu maka sebuah keharusan untuk pulang bersama sampai pertigaan jalan raya, tempat menanti bus, jaraknya 300 meter dari gerbang sekolah. Saat berjalan itulah canda tawa, keluh kesah tentang apa pun terurai menjadi jembatan ikatan yang semakin lekat. Di pertigaan itu nantinya aku dan Monica harus berpisah sebab arah rumah kami tidak searah. Monica tinggal di Ceper sedang aku di Kartasura, tak jauh dari kampus IAIN Surakarta.

Seringnya saat berangkat sekolah pun kami bertemu di pertigaan tersebut, jadi bisa jalan bareng menuju sekolah.

Aku hampir saja menemukan jawaban untuk soal ke tiga puluh saat Monica menepuk pelan pundakku, “Hey, nunggu lama Ci?”

“Enggak dong, ada aritmatika yang nemenin, hhii.”

“Mampir toko buku yuk?”

“Mau cari apa?”

“Inspirasi buat lomba tingkat kabupaten.”

“Wahh... bakal temenan sama artis nih aku.”

“Hhaa... kamu mau jadi manajerku nggak?”

“Enggak.”

“Kenapa?”

“Bayarannya kecil, hhii.”

Itulah Monica, gadis periang yang pandai bermain peran. Ia dipilih menjadi ketua teater setelah mendapatkan 80% suara. Aku? Penonton terdepan yang akan selalu hadir saat ia pentas, di manapun, di sekolah itu pasti, di Balaikota Solo, Gor Gelarsena, dan banyak tempat lainnya.

Kami sudah melintasi gerbang saat Monica menanyakan keadaan nenekku.

“Gimana kabar nenek?”

Raut wajahku berubah, nenek adalah orang terkasih yang jasanya tak mampu kubalas dengan apapun. Darinya aku belajar bahwa mencuci baju itu harus dibilas dua kali dengan air bersih, jangan lupa untuk dikucek agar tak ada sabun tersisa dan kegiatan mencuci di sendang adalah hal yang paling kurindukan mengingat tiga bulan ini sejak nenek mengeluhkan rasa sakit pada perutnya menghalangi kami naik turun tangga menuju sendang.

“Kata dokter nenek kena liver, ada cairan yang terus bertambah hingga membuat beliau seperti orang hamil.”

Monica merangkulku, "Ada aku.” 

Aku menyeka air mata.

Entah bagaimana Tuhan Maha Baik telah menghadirkan Monica untuk selalu disampingku, menjadi penyangga setiap keluh kesahku. Thanks God.




Nantikan kelanjutan cerita pada puzzle selanjutnya...

 
Ciani Limaran
Haloo... selamat bertualang bersama memo-memo yang tersaji dari sudut pandang seorang muslimah.

Related Posts

5 komentar

Posting Komentar